Skip to main content
Artikel

KOMITMEN ACEH MELAWAN NARKOBA

Dibaca: 814 Oleh 24 Feb 2021Tidak ada komentar
KOMITMEN ACEH PERANG MELAWAN NARKOBA
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

KOMITMEN ACEH MELAWAN NARKOBA

Oleh: Efrar Khalid Hanas

Penyuluh Narkoba Ahli Pertama BNN Provinsi Aceh

KOMITMEN ACEH PERANG MELAWAN NARKOBA

Efrar Khalid Hanas
Penyuluh Narkoba Ahli Pertama BNN Provinsi Aceh

 

Sejak dicanangkannya Indonesia darurat narkoba hingga kini penyebaran narkoba sudah sangat mengkhawatirkan. Mengingat hampir seluruh penduduk dapat dengan mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Aceh yang notabenya dikenal dengan keislamannya dalam beberapa tahun terakhir berubah suram dengan berbagai hal yang secara sadar perlu mendapat perhatian kita semua. Mulai dari tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kekerasan terhadap perempuan dan anak yang semakin tinggi, serta peredaran gelap narkotika yang secara langsung dapat menghancurkan masa depan Aceh seketika. Ancaman narkoba bukanlah ancaman biasa. Narkoba justru dapat memutuskan jalan masa depan generasi Aceh. Mulai dari Anak-anak, Remaja hingga Dewasa. Di Aceh Perkembangan penyalahguna narkoba terjadi peningkatan. Hasil Survey BNN & LIPI Tahun 2019 Provinsi Aceh berada pada peringkat 6 Nasional dengan persentase 2,80% dengan jumlah pengguna 82.415 jiwa, dengan pengguna narkoba pada umumnya berusia antara 11 sampai 40 tahun.

Berdasarkan hasil survey ini kita dapat melihat bahwa kasus pemakaian narkoba pada usia produktif di Aceh semakin tinggi. Data ini perlu menjadi kewaspadaan bagi kita karena seiring dengan meningkatnya kasus narkoba, tentunya akan diikuti dengan rentetan permasalahan yang lain. Hal ini menegaskan bahwa saat ini perlindungan anak dari bahaya penyalahgunaan narkoba masih belum cukup efektif dan perlu mendapat perhatian khusus dari kita semua. Walaupun pemerintah dalam UU Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 dalam pasal 20 sudah menyatakan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (lihat lebih lengkap di UU Perlindungan Anak). Namun perlindungan anak dari narkoba masih jauh dari harapan.

Sebenarnya dari sisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan, upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif di Aceh sudah sangat kuat, jika dibandingkan dengan Provinsi lain, dengan kekhususan yang dimiliki Aceh dengan lebel syariat Islamnya saat ini tidak ada Provinsi yang mempunyai payung hukum seperti di Aceh. Di tingkat undang-undang misalnya, ada UU No. 35 Tahun 2009, tentang narkotika, dan UU No. 36 Tahun 2009, tentang kesehatan yang memayungi bagaimana penanganan penyalahguna narkotika dan zat adiktif.

Dua tingkat peraturan perundang-undangan tertinggi yang sudah kita miliki menunjukan dukungan pemerintah terhadap upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba sudah sangat kuat. Ditambah lagi dengan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Khamar dan Qanun Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Fasilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkotika, yang bisa dikatakan Aceh sangat serius dalam melawan peredaran Narkoba.

Peluang untuk melibatkan pemerintah daerah dalam penangan penyalahgunaan Narkoba dapat merujuk kepada Permendagri Nomor 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan, Penyalahgunaan Narkotika Merupakan Wujud Sinergisitas Penanganan Masalah Narkoba. Di dalamnya juga mengatur peran Gubernur/Bupati/Walikota, pendanaan, pembinaan dan pelaporan dalam penyelenggaraan fasilitasi P4GN. Bahkan Pemerintah Daerah di dalam Permendagri tersebut disebutkan bertanggung jawab terhadap penanganan masalah-masalah narkoba. Fasilitasi yang dimaksud yaitu dengan menyusun Perda/Qanun; meningkatkan partisipasi masyarakat; kemitraan/kerjasama dengan ormas, swasta; perguruan tinggi; sukarelawan; perorangan; dan/atau badan hukum dan melibatkan forum kerukunan umat beragama, forum kewaspadaan dini masyarakat di daerah dan komunitas intelijen daerah untuk pencegahan penyalahgunaan narkotika; dan menyusun program dan kegiatan pencegahan penyalahgunan narkotika (pasal 4).

Sementara fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika, dilakukan melalui kegiatan seminar, lokakarya; workshop; halaqah; pegelaran seni & budaya; jalan sehat, pemberdayaan masyarakat; pelatihan masyarakat; karya tulis ilmiah dan sosialisasi, desiminasi, asistensi dan bimbingan teknis (pasal 5). Dengan begitu Pemerintah Aceh dapat lebih mengeksplorasi peluang ini untuk meningkatkan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba dengan menggunakan sumberdaya yang ada di Pemerintah Daerah. Ditambah dengan kebijakan terkait Pelaksanaan Wajib Lapor pecandu narkoba yang mana kebijakan ini mengarahkan pengguna narkotika dan zat adiktif agar melakukan lapor diri untuk menjalani rehabilitasi di fasilitas atau institusi penerima Wajib Lapor (IPWL) yang sudah ditetapkan. Sambutan terhadap kebijakan ini sangat positif karena semua setuju bahwa penjara tidak akan menyelesaikan masalah ketergantungan dari pengguna narkoba. Walaupun dari sejumlah kementrian hanya kementrian kesehatan dan sosial yang sudah mengembangkan petunjuk teknis pelaksanaan IPWL ini. Kita masih menunggu pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman yang merupakan lembaga yang paling berperan dalam penanganan kasus belum mempunyai petunjuk teknis khusus mengenai ketentuan pasal yang harus digunakan untuk mengatasi persoalan penyalahguna ini. Tidak cukup jika hanya berpedoman dengan SEMA Nomor 4 Tahun 2010, Perlu ada petunjuk lain perihal teknis. Ketiadaan petunjuk teknis ini menyebabkan masih adanya perbedaan persepsi dan interpretasi penegakan hukum bagi penyalahguna di lembaga-lembaga tersebut. Jadi yang diperlukan sekarang adalah petunjuk teknis di penegakan hukum bagi penyalahguna di lembaga-lemabaga tersebut dan mensosialisasikannya kepada semua lapisan penegak hukum dan masyarakat.

Hal ini perlu dilakukan karena kepastian tindakan dan kurangnya pemahaman mengenai pengaturan tentang penanganan kasus penyalahguna narkoba yang harus diterapkan menimbulkan berbagai tindakan yang dapat merugikan penyalahguna baik secara materil dan sosial di semua tahapan layanan. Belum lagi praktek penyalahgunaan wewenang dalam penuntutan oleh jaksa dan kepolisian, dan praktek penyalahgunaan kartu IPWL oleh penyalahguna sebagai alat pelindung dari tangkapan petugas kerap terjadi di beberapa daerah di Aceh. Persoalan lain yang juga perlu difikirkan oleh pemerintah daerah Aceh adalah terbatasnya fasilitas rujukan untuk rehabilitasi, anggaran, kuantitas, dan kapasitas SDM. Sampai saat ini aceh baru memiliki 1 fasilitas rehabilitasi dengan kapasitas 50 orang yang dimiliki pemerintah yang ada di Banda Aceh yaitu Rumoh Harapan Aceh. Karena lokasinya yang bersebelahan dengan BLUD RS jiwa, terkadang membuat orang segan datang karena takut diasosiasikan/distigmatisasi sebagai orang dengan gangguan jiwa atau orang gila.

Keterbatasan dana untuk merehabilitasi juga menjadi kendala tersendiri, banyak penyalahguna ingin direhab, tapi tidak punya uang, sementara bantuan dana pemerintah untuk satu RS hanya sekitar 100 kasus saja pertahun, di luar jumlah itu penyalahguna harus membayar sendiri. Jumlah dan kapasitas SDM untuk asesor dan tenaga konselor adiksi juga masih sangat terbatas, bahkan ada yang belum mengerti sama sekali tentang standar penanganan penyalahguna, sehingga ada perbedaan kualitas layanan di beberapa fasilitas.

Terlepas dari semua persoalan di atas, masyarakat secara umum dan bahkan penyalahguna sendiri masih takut menyampaikan informasi yang diberikan akan disalahgunakan dan merugikan meraka, seperti menjadi target penegak hukum dan mengalami stigma dari masyarakat. Sedangkan di sisi masyarakat, belum semua paham IPWL dan tidak tahu berapa besar biayanya dan seberapa efektif bisa membantu penyalahguna untuk pemulihannya. Ditambah lagi stigma masyarakat kita yang menganggap anggota keluarga yang terkena narkoba sebagai aib dan memalukan keluarga masih sangat kuat.

Inilah yang seharusnya dipikirkan pemerintah, para ulama, tokoh adat, aktivis, akademisi, dan DPR di Aceh saat ini dan untuk ke depannya. Bagaimana ancaman narkoba ini perlu disikapi dengan sangat serius. Aceh kini dihadapkan dengan situasi Covid-19 yang tak kunjung usai. Namun Narkoba ini adalah isu yang kritis dan rumit yang tidak bisa diselesaikan oleh hanya satu pihak saja. Karena narkoba bukan hanya masalah individu namun masalah semua orang. Mencari solusi yang tepat merupakan sebuah pekerjaan besar yang melibatkan dan memobilisasi semua pihak baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas lokal, Adalah sangat penting untuk bekerja bersama dalam rangka melindungi generasi Aceh dari bahaya narkoba dan memberikan alternatif aktivitas yang bermanfaat seiring dengan menjelaskan kepada anak-anak tentang bahaya narkoba dan konsekuensi negatif yang akan mereka terima.

Masyarakat Aceh, khususnya anak usia sekolah membutuhkan informasi, strategi, dan kemampuan untuk mencegah mereka dari bahaya narkoba atau juga mengurangi dampak bahaya narkoba dari pemakaian narkoba orang lain. Salah satu upaya dalam penanggulangan bahaya narkoba adalah dengan melakukan program yang menitikberatkan pada anak usia sekolah. Walaupun Hingga saat ini upaya yang masih paling efektif untuk mencegah penyalahgunaan Narkoba di masyarakat adalah dengan meningkatkan peran keluarga dalam mengawasi dan mendidik anaknya untuk selalu menjauhi narkoba, namun pemerintah juga perlu mengambil peran strategis dalam mencegah peredaran gelap narkoba yang sangat membahayakan ini. Ciptakan lingkungan yang peduli terhadap satu sama lain, serta peka terhadap persoalan yang dihadapi Masyarakat Aceh saat ini. Ingat, Gerakan melawan narkoba merupakan proses jangka panjang. Kita perlu mempersiapkan segala sesuatunya mulai dari sekarang.

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel