Skip to main content
Artikel

KELUARGA LEBIH UTAMA DARI KESIBUKAN

Dibaca: 145 Oleh 21 Apr 2022Tidak ada komentar
berita dan artikel 1
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

KELUARGA LEBIH UTAMA DARI KESIBUKAN

KELUARGA LEBIH UTAMA DARI KESIBUKAN

Oleh: Efrar Khalid Hanas, S.Psi

Penyuluh Narkoba Ahli Pertama BNNP Aceh

Ada sebuah kisah yang sangat menginspirasi penulis untuk merefleksikan hakikat sebuah kehidupan yang senantiasa dialami banyak orang saat ini. Kisah ini bercerita tentang Aldi. Aldi adalah seorang General Manager (GM) sebuah perusahaan terkemuka yang sedang mendaki puncak karir di usia produktifnya. Sebagai orang kedua di Perusahaannya, dia selalu dipercaya direkturnya untuk mengelola operasional perusahaan dari mulai produksi hingga pemasaran dan juga urusan keuangan. Jabatannya ini telah menyita hampir sebagian besar waktunya, bahkan hingga sampai di rumah. Sebagai keluarga muda Aldi memiliki seorang putri berumur tiga tahun, Icha namanya, dan seorang istri yang tidak bekerja namun sangat mendukung karier Aldi.

Suatu malam, ketika Aldi sedang sibuk mempersiapkan rapat kerja semesteran, Icha datang membawa buku cerita yang baru dibeli bersama mamanya di toko buku sore harinya. Buku tersebut bercerita tentang peri kesukaan Icha. Putri tunggalnya ini ingin supaya Aldi melihat buku itu. “Papa, Icha tadi beli buku bagus sama mama. Nih lihat, Pa,” kata putrinya bersemangat. Melihat putrinya yang datang, Aldi hanya menoleh dan menurunkan sedikit kacamata bacanya, sambil jemarinya tetap mengetik di atas tombol laptopnya. Ia berkomentar sedikit, “Hmm, bagus ya sayang.” Mendapat respons dari papanya Icha pun bersemangat. ‘Papa, tolong bacakan ceritanya, ya!” pinta putrinya. Aldi meminta putrinya menghampiri mamanya untuk membacakan buku itu. Icha tetap memeluk tangan papanya sambil meminta dibacakan buku cerita peri tersebut. “Icha ingin Papa saja yang baca, rengek putrinya. Aldi pun mulai merasa terganggu, dan dengan suara agak meninggi. Ia berujar kepada putrinya itu. “Icha! kan, Papa sudah bilang sehabis kerja baru bisa Papa bacakan. Kamu nonton TV saja menunggu Papa selesai.” Icha terus memohon kepada papanya untuk membacakan cerita tersebut walau sebentar sambil menggoyang-goyangkan tangan papanya agar bersedia berhenti sejenak dari pekerjaannya untuk membacakannya buku. Merasa sangat terganggu Aldi pun dengan membentak menyuruh anaknya keluar dari ruangan dan menemui mamanya. “Mama, coba ajak Icha ke ruang tengah dan bacakan buku cerita ini. Kamu, kan, tahu besok saya ada rapat Semesteran.  Icha, Kamu pergi sana temui mama dan jangan ganggu papa dulu!” Mendengar suara papanya yang keras dengan disertai wajah yang kesal, Icha pun menangis tersedu-sedu. Sambil menangis dia meletakkan bukunya di pinggir Meja kerja papanya. “Nanti kalau Papa sudah sełesai kerja tolong dibacakan tapi dengan suara yang keras ya Pa, supaya Icha bisa mendengar dari kamar sebelah.” Icha pun berlalu meninggalkan papanya yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

Berminggu-minggu waktu berlalu, buku yang diletakkan Icha tidak pernah tersentuh oleh Aldi apałagi untuk membacakannya. Dia begitu sibuk dengan pekerjaannya hingga lupa dengan putri tunggalnya itu.

Hingga suatu kali ketika Aldi baru pulang kerja dan bersiap mandi, dia mendengar suara benturan di halaman depan rumahnya seperti suara tabrakan. Aldi pun berlari keluar dan mendapati para tetangga sedang berteriak-teriak histeris mengelilingi seorang anak gadis kecil yang tergeletak bersimbah darah yang tidak lain adalah Icha, putrinya. Seorang pengendara sepeda motor ugal-ugalan yang masih siswa SMA, menabrak lari Icha dengan kecepatan tinggi.

Seperti disambar petir, Aldi pun langsung mengeluarkan mobilnya dan meminta supirnya secepat mungkin melarikan putrinya ke rumah sakit. Di perjalanan, Icha masih sadar, dan di pangkuan papa dan mamanya, ia masih sempat berkata-kata. “Papa, mama, Icha takut.. Icha sayang papa dan sayang mama!” ujar gadis kecil itu lirih. Hidung dan telinganya terus mengeluarkan darah. Aldi dan istrinya hanya bisa menangis dan terus menguatkan sang anak. Lalu Icha berkata kembali dengan suara lirih. “Maafkan Icha kalau selama ini sudah mengganggu papa dan mama.” Icha pun tidak sadarkan diri. Sesampainya di Rumah Sakit, nyawa Icha tidak tertolong. Karena benturan keras di kepala dan pendarahan yang terus-menerus.

Kini tinggallah penyesalan dari sang ayah karena tidak bisa memenuhi permintaan sederhana dari anaknya untuk membacakan buku kesayangannya. Buku yang sejak beberapa minggu lalu minta dibacakan oleh Icha, masih berada di atas meja kerjanya. Buku tersebut sudah kumal dan penuh dengan gambar-gambar coretan sang putri yang menunjukkan betapa cintanya dia dengan buku kesayangannya tersebut. Rupanya setiap papanya pergi kerja, Icha mengambil bukunya tersebut dari meja papanya untuk dibuka-buka dan dicoret-coret. Ia pun akan meletakkan kembali ke tempatnya semula ketika papanya pulang ke rumah. Ia berharap suatu kali papanya membacakan buku tersebut dengan keras.

Nasi sudah menjadi bubur. Aldi mengambil buku tersebut dan dengan berlinang air mata. Dia membacakan dengan keras halaman demi halaman lembar buku tersebut. Semakin lama semakin keras, namun tidak ada yang mendengarkan. Akhirnya dalam kesedihan yang mendalam, dia terus, membacakan buku Icha tersebut sambil sesekali berkata, “Icha, dengar, ya, Sayang, ini Papa bacakan dengan keras ceritanya. Icha sayang, di mana engkau? Dengar, ya, Sayang, Papa sudah membaca dengan keras. Maafkan Papa, ya, Nak.” Aldi pun terduduk lesu penuh penyesalan sambil memeluk buku kesayangan putrinya.

Tuntutan kerja dan aktivitas yang tinggi tanpa disadari telah menyita banyak waktu untuk dibagi kepada keluarga. Beberapa tahun lalu, seorang ayah masih bisa pulang sore dan bercengkrama dengan anak-anaknya hingga malam hari. Zaman sekarang tampaknya agak sulit, apalagi di kota-kota besar. Makin tinggi jabatan seseorang, maka rentan pula yang bersangkutan untuk tidak punya waktu bagi keluarganya sendiri. Namun di sinilah kita memilih prioritas dan meletakkan kepentingan utama dalam hidup. Ada orang melihat pekerjaan dan bisnis sebagai yang utama hingga menelantarkan keluarganya. Sebaliknya, ada juga yang memprioritaskan secara tidak seimbang urusan keluarga hingga pekerjaan yang menjadi sumber nafkahnya menjadi berantakan.

Siapakah anak-anak sesungguhnya? Mereka adalah titipan Allah SWT untuk dibesarkan dan di didik agar kelak menjadi manusia yang berguna. Pendidikan dan pola asuh yang benar tentu membutuhkan pengorbanan waktu dan tenaga yang proporsional pula dari seorang ayah. Begitu banyak kepala keluarga yang terjebak dalam rutinitas pekerjaan akhirnya menyerahkan urusan membesarkan anak kepada istri atau pembantunya. Padahal dalam sistem pola asuh, anak dibesarkan dalam kasih sayang dan disiplin melalui perimbangan peran ayah dan ibu untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik.

Pekerjaan tidak akan pernah habis, Demikian pula halnya dengan uang. Semakin dicari semakin ketagihan untuk memperoleh nya. Sementara waktu terus berlału, usia anak terus bertambah. kita pun tertinggal masa-masa indah untuk membentuk karakter sang anak. Bukankah masa anak-anak (khususnya balita), masa yang terindah untuk menanamkan nilai-nilai positif yang kelak menjadi bekał hidupnya di kemudian hari?. Di samping itu, kenikmatan orang tua dalam menikmati masa memiliki anak kecil hanya sekali.

Saya teringat seorang sahabat menasihati saya ketika seorang buah hati kami hadir mengisi kebahagiaan keluarga. “Frar, nikmatiłah masa ketika anak-anak masih balita. Karena di situlah kebahagiaan puncak kita sebagai orang tua hadir. Kelak tanpa terasa kita yang akan ditinggalkan anak kita karena usia mereka yang sudah semakin dewasa.” Begitu nasihat sahabat șaya Itu. Pesan moral sang sahabat itu ternyata banyak implikasinya saat ini di dunia nyata. Ada banyak orang yang akan mendekati masa purnabakti merasa tidak hanya kehilangan pekerjaan, jabatan, dan keuangan, namun merasa ‘kehilangan anak-anaknya. Ada juga yang dikarenakan tidak adanya perhatian orang tua sang anak menjadi pecandu narkoba. Ketika masih muda, orang tuanya sibuk mengejar karier dan uang dan melupakan anak-anaknya. Ketika dia akan “kembali” ke rumah karena memasuki masa pensiun, anak-anak sudah pergi dengan kesibukannya masing-masing dan bahkan ada yang telah hancur kehidupannya. Kini tinggalah orang tua seorang diri yang penuh dengan penyesalan dan kesepian.

Anak-anak ibarat anak panah yang melesat menuju sasaran yang tepat jika diarahkan dengan tepat pula. Waktu berjalan demikian cepat, dan kuota waktu tak berubah, sehari sama dengan 24 jam. Namun cara kita memilih untuk menetapkan prioritaslah yang menentukan makna hidup ini dengan lebih baik. Itu sebabnya jangan mengatur waktu kita, akan tetapi aturlah hidup kita yang berjalan di rentang waktu tertentu. John C. Maxwell menuturkan suatu pilihan yang spetakuler: Dahulukan hal-hal yang utama hari ini dan abaikan hal-hal yang tidak benar-benar ada artinya. Apa yang paling berarti dalam hidup kita? Ini pun suatu pilihan.

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel